Label

Minggu, 14 Juli 2013

WOT

Karya Wisnusantara

Sore itu, ketika matahari bersiap kembali ke peraduannya, ketika langit cerah dengan arak-arakan awan yang memperlihatkan kebesaran Tuhan, ketika burung-burung berlomba kembali pulang setelah seharian mencari rizki yang diberikan Tuhan. Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?.

Seperti biasa diwaktu seperti itulah Hamdan pulang menyusuri jalan-jalan ibukota yang penuh dengan fragmen peristiwa di setiap sudutnya setelah lelah seharian berjualan es goyang, “Seperti burung dan matahari itu” batinnya bergumam sambil tersenyum. 

WOT
Seperti biasanya pula ia harus mendorong gerobaknya melewati sebuah jembatan, ia pun menarik nafas dan mulai mendorong dengan sekuat tenaga gerobaknya hingga sampai di atas jembatan. Sesampainya di atas ia berhenti untuk sekedar menghela nafas, ia melihat sekeliling melihat kendaraan lalu lalang dengan berbagai tingkat kecepatan dan pandangan matanya terhenti ketika melihat sebuah benda bulat yang akan tenggelam meninggalkan bumi untuk sementara. “Indahnya sunset itu” gumamnya dengan senyum. Ia memejamkan matanya merentangkan tangan untuk menghela nafas sambil mensyukuri apa yang telah dikaruniakan Tuhan kepada dirinya. “Maha Agung Ia yang telah menciptakan segala sesuatunya dengan indah” bisiknya. (Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
“Bang, ngapain tidur sambil berdiri?” terdengar suara yang bertanya.
“Ah, gak apa-apa kok, ada apa Dek?”. Ternyata suara anak SMA yang mengagetkan lamunannya
“Mau beli es dong Bang, masa beli es lah” jawab anak itu setengah bercanda.
“Mau beli es apa Dek?” tanyanya lagi dengan sedikit bercanda.
“Emang si Abang jualan es apaan?” anak itu balik bertanya.
“Jual es joged” jawabnya dengan tersenyum.
“Oh… ga jadi deh kirain jual es goyang” jawab anak itu dengan muka datar.
“Lah si Adek, dibecandain segitu aja marah”.
“Lah abisan si Abang nanya mulu, udah kaya acara singlet di tipi” jawab anak itu.
“Silet Dek, bukannya singlet” katanya.
“Lah gak ah. Itu mah iklan Bang!” jawab anak itu lagi dengan senyum.

Anak itu kembali bertanya dengan penasaran, “Bang tadi ngapain merem-merem, mau bunuh diri ya? Bunuh diri mah jangan di sini Bang, di tempat yang elit dikit dong Bang” kata anak itu sambil bergurau.
“Emang tempat yang elit dimana?” tanya Hamdan penuh selidik.
“Noh, di gedung DPR” jawab anak itu sekenanya.
“Lah, kok di gedung DPR sih?” tanyaku lagi dengan penasaran.
“Iya Bang, biar tuh Wakil Rakyat tau kalo ada rakyatnya yang bunuh diri karena kelakuan mereka. Lagian kalo Abang bunuh diri mari mah cuma masuk koran yang 2000 perak, terus nih jembatan jadi angker” jawab anak SMA dengan semangat. Hamdan hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya mendengar celotehan anak itu. Di mana pun kalian berada, kematian akan mendapatkan kalian, kendatipun kalian berada di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.

Setelah memberikan pesanan anak itu, Hamdan pun kembali menatap matahari yang mulai bergabung dengan mega-mega di balik awan. Setelah melihat anak sekolah tadi, Hamdan menerawang mengingat masa lalunya terutama masa-masa ia merasakan kuliah, masa dimana ia mulai merajut mimpi, mulai menata masa depan dan mengejar cita-citanya menjadi seorang pengacara. Ia mengingat bagaimana angannya ketika sudah menjadi pengacara ia ingin menjadi seorang pengacara yang besar, terkenal dan mampu menyelesaikan banyak kasus seperti Adnan Buyung Nasution. Ya, Adnan Buyung Nasution pengacara berambut khas yang pertama kali ia lihat di televisi yang membuat ia ingin menjadi seorang pengacara. “Pembela yang lihai berretorika” katanya waktu itu.

Hamdan terus mengenang masa kuliahnya dulu tapi ada kenyerian dalam batinnya pula karena ia tidak sampai menamatkan kuliahnya. Semasa kuliah dulu ia banyak menyia-nyiakan waktu untuk bermain-main, belajar hanya sebatas membuat tugas kelompok saja. Ia banyak menyepelekan waktu dan berhenti ketika masuk semester enam karena uang kuliah dipakai untuk taruhan sepakbola dengan temannya, dan ia kalah. Orang tuanya yang memang mampu percaya bahwa ia masih tetap kuliah padahal ia telah membohongi kedua orang tuanya, setelah sekian bulan orang tuanya baru mengetahui bahwa ia tidak membayarkan uang kuliahnya, orang tuanya sangat marah sekali dan memutuskan menghentikan segala biaya hidup Hamdan. Hamdan pun menyesal dan mulai mencari kerja ke setiap perusahaan tapi tak ada satu pun yang menerimanya, pernah ia diterima tapi baru berkerja dua bulan dipecat karena terlalu sering terlambat. Ia pun kembali mencari kerja. Demi waktu. Sesungguhnya manusia dalam kerugian.

Hamdan terus mencari kerja, ia masuk jawatan demi jawatan tapi tetap saja hasilnya nihil. Ia beristirahat sejenak di sebuah warung rokok untuk sekedar melepas lelah dan memesan sebotol minuman. Ketika itu ada seorang yang cukup tua duduk di sampingnya. Hamdan menawarkan minumannya ke orang tua itu dan ditolak dengan sopan. Mereka duduk tanpa bicara.
“Darimana Mas?” tanya orang tua itu membuka pembicaraan.
“He, iya Pak, abis ngelamar kerja” jawab Hamdan.
“Hmmm, gimana udah ada yang nerima?” tanya orang tua itu lagi.
“Aahh. Belum Pak” jawab Hamdan sambil menghela nafas.
“Ohh. Mudah-mudahan cepet diterima ya” doa orang tua itu.
“Amiin”.
“Oh iya, kamu lulusan apa emangnya?” tanya orang tua itu lagi.
“SMA Pak” jawab Hamdan dan orang tua itu hanya manggut-manggut.
“Ya begitulah Pak, yang sarjana aja susah apalagi saya yang cuma SMA” sambung Hamdan.
“Loh, gak masalah SMA atau sarjana, yang penting kamu niat kamu awalnya” jelas orang tua itu.
“Maksudnya Pak?” tanya Hamdan penasaran.
“Ya niat awal kamu ngelangkah dari rumah” jelas orang tua itu lagi.
“Ngelamar kerjalah Pak” tegas Hamdan.
“Oh, tapi rasanya kamu belum yakin sama langkah kamu, masih ada yang kamu harapkan” kata orang tua itu.
“Loh kok Bapak tau sih?” tanya Hamdan lagi penasaran.
“Dari raut wajah kamu” jawab orang tua itu yakin.

Kemudian Hamdan menceritakan kisahnya, sewaktu ia kuliah hingga kenapa ia harus berhenti.
“Ohhh. Dek, Tuhan itu udah nentuin takdir kita dari sebelum kita lahir. Rezeki, jodoh, mati dan proses menuju kematian itu udah ditulis buat kita. Kita makhluknya hanya bisa berharap tapi tetap ada yang nentuin. Kita hanya juga bisa berdoa tapi doa kita juga kadang salah” jelas orang tua itu.
“Salah gimana Pak?” tanya Hamdan.
“Salah karena kita selalu meminta apa yang udah ditentuin buat kita, doa minta jodoh, doa minta rezeki, seharusnya kita berdoa agar apa yang udah ditentuin buat kita itu menjadi berkah, bermanfaat buat sekeliling kita. Harapan-harapan yang kita inginkan itu hanya sekedar nafsu dari nafsu-nafsu yang lain. Kadang kita lalai dengan apa yang udah dikasih buat kita, kita sia-siakan itu” jelas orang tua itu.
“Lalu seharusnya kita mesti gimana?” tanya Hamdan lagi.
“Seharusnya kita selalu bersyukur dan berdoa sebagai tanda bahwa kita bukan apa-apa disbanding ilmunya” terang orang tua itu.

Hamdan hanya manggut-manggut dan menyadari apa yang selama dikerjakan ini adalah bentuk kesia-sian saja. “Oh iya, ngomong-ngomong nama Bapak sapa? Saya Hamdan Pak. Ngobrol dari tadi gak tahu nama” tanya Hamdan.
“Saya Imron” jawab orang tua itu. “Dek, saya pamit duluan udah mau ashar. Ada yang mesti saya kerjakan” sambung orang tua itu.
“Silahkan” kata Hamdan.
Hamdan terdiam dan melamun.
****

Hamdan tersadar dari lamunannya karena suara Truk besar yang lewat di jembatan itu. Hamdan tersenyum mengingat masa lalunya itu dan ia sekarang mensyukuri apa yang ada padanya saat ini. Dalam hatinya ia berdoa, “Ya Allah, segala apa yang kau beri adalah rahmat. Manusialah yang membuatnya sia-sia. Terima kasih atas apa yang Engkau curahkan pada kami”.
Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

PROFIL PENULIS
Lahir di Jakarta pada tanggal 4 Juli 21 tahun yang lalu. Menempuh pendidikan di SDN Keagungan hingga tahun 2003, SLTP Negeri 54 Jakarta hingga tahun 2006 dan SMA Negeri 17 Jakarta hingga tahun 2009, sekarang menempuh pendidikan tinggi di Universitas Indraprasta PGRI jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia fakultas bahasa dan seni. (Wisnu Ismail Ramdhan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar